Si pemberani punya rasa takut sebelum disebut pemberani

alyssa
3 min readFeb 2, 2023

--

Waktu itu aku baca sesuatu di timeline Twitterku (oh she’s back — alyssa and her- i saw oomf tweets and i’m thinking about it religiously) kalau gak salah inti tweetnya gini, katanya sebelum kita dilahirkan Tuhan nanya tuh ke kita 77 kali, bener nggak kita mau dilahirin? coba Tuhan nanyanya 78 kali*. Aku ketawa. Konteksnya emang sedikit ‘dark’, tapi beginilah kisanak~ cara para gen z melepas penat, dengan berkeluh kesah secara blak-blakan, dan tentunya tidak mengharapkan simpati dan kata semangat karena yang dicari adalah hiburan dan saling menertawakan.

Di usiaku yang sudah menginjak dua dasawarsa lebih satu tahun ini, aku baru menyadari bahwa hari-hariku dihabiskan dengan ketakutan. Dari hal yang paling kecil — mungkin dianggap tidak berguna oleh orang lain — sampai hal yang besar dan dimaklumi orang lain.

Hari-hari aku ketakutan contohnya dimulai dari, takut bangun tidur kesiangan dan melewatkan meeting penting di tempat magangku, jadinya aku juga jadi takut kelewatan kereta dan harus menunggu 15 menit di bawah terik sorot matahari. Atau takut kehujanan saat di dalam bus yang sudah hampir sampai ke halte tujuan — nggak bisa melanjutkan perjalanan karena tidak membawa payung, kalau diterobos laptop basah kehujanan, laptop rusak, tidak bisa bekerja, tidak bisa mengerjakan skripsi, tidak akan lulus tepat waktu, tidak bisa menjadi tropi kebanggaan orang tua ketika bercengkrama bersama tetangga yang baik hati.

Itu baru ketakutan (mungkin) remeh (mungkin juga tidak) yang bisa dicemooh. Benar-benar contoh cerita yang bisa ditertawakan (typical jawaban yang diharapkan jika aku berbagi cerita ini di Twitter), tapi suatu waktu hal tersebut benar-benar pernah terjadi pada diriku dan disitu pula aku diam-diam menangis dibalik masker yang kemudian berubah menjadi wadah untuk ingus yang tidak pernah absen mendukung kesedihanku.

Jika aku membawa mic dan berjalan di GBK, mencari seseorang yang bisa diganggu waktunya barang 5 menit dan melakukan wawancara impromptu “hal apa yang kamu takutkan hari ini?” pasti 9 dari 10 orang** akan dengan cepat menjawab “tidak ada”, tapi yang kamu tidak tau 6 dari 15 orang** aku suruh untuk memikirkan pertanyaan tersebut lebih lama sebelum menjawab — dan mereka kemudian akan memberi tahu hal kecil (atau besar) apa yang mereka takutkan hari itu. Mungkin “takut e-money buat pulang naik MRT nggak cukup”, “takut ditelpon mama disuruh cepet pulang padahal masih mau nongkrong, “takut revisian client nggak diapproved”, atau apalah “takut dompet dicipet di kereta” dan ketakutan-ketakutan lainnya yang selalu ada setiap hari dalam hidupmu (kecil atau besar).

Ternyata memang hari-hari ini dihiasi dengan ketakutan. Takut earphone rusak karena nggak sengaja jatuh dan terbanting. Takut sepatu putih kotor karena pas jalan melewati tanah dan lumpur. Takut salah menjawab waktu tiba-tiba ditunjuk dosen untuk jawab pertanyaan tapi nggak yakin sama jawabannya karena selama mata kuliah agak bengong. Takut cover novel kotor karena belum sempat disampul. Takut uang habis sebelum akhir bulan dan gaji dari tempat magang belum cair (salah sendiri beli tiket konser — bukan based on true story).

Takut naik transportasi umum sendirian pertama kali. Takut datang ke tempat baru. Takut ketika mengendarai mobil. Takut terlambat mengumpulkan tugas ujian. Takut berdiri di gerbong kereta yang sesak. Takut menyebrang jalan. Takut di rumah sendirian saat mati lampu. Takut tambah dewasa tetterettew (nyanyi).

Ketakutan kita begitu banyak namun berkatnya kita bisa menjadi pemberani.

Kitalah si pemberani yang tetap menghadapi hari meski dipenuhi ketakutan. Menjalani berbagai tantangan dengan parau dan langkah tidak yakin, atau dengan lantang dan melompat pasti — bagaimanapun caranya, kemudian ketakutan tersebut berubah menjadi keberanian. Dalam hitungan sekon si penakut kemudian berubah menjadi si pemberani.

Banyak ketakutan yang telalu cepat diproses oleh otak dan berstimulasi secara otomatis, sehingga terkadang kamu tidak sadar bahwa hatimu sempat ragu dan sepersekian detik merasakan takut.

Inilah mungkin salah satu alasan — non medis — mengapa bayi menangis ketika baru dilahirkan. Ia seketika berubah menjadi insan tak berdaya yang takut akan banyak hal dan berharap Tuhan mustinya memastikan dengan bertanya kembali benarkah ia ingin dilahirkan di dunia (untuk yang ke-78 kali).

Makanya, kita semua ini sebenarnya penakut, tapi tidak benar-benar penakut karena kita juga pemberani.

Karena si pemberani punya rasa takut sebelum dipanggil si pemberani.

Jadi, jika ada seseorang yang bertanya “apa yang kamu takutkan hari ini?” jawablah dengan yakin, dan yakini pula bahwa kamu berani mengatasi ketakutanmu di hari ini (dibaca dengan nada golden ways);

*aku lupa siapa yang nge-tweet but props to her/him karena sudah jadi inspirasiku menulis entry kali ini

**maaf ini angka asal-asalan, aku kan, nggak bener-bener wawancara orang-orang hoho (aku bebas mengarang) ((kalian bebas mau percaya apa nggak))

--

--